Jumat, 29 April 2011

Amandemet UUD 1945


1.   TUNTUTAN REFORMASI



 Gambar 1.1 : Demonstrasi yang dilakukan rakyat Indonesia menuntut Reformasi

Reformasi merupakan gerakan moral untuk menjawab ketidak puasan dan keprihatinan atas kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan sosial:
a.    Reformasi bertujuan untuk menata kembali kehidupan berma-sayarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.
b.    Dengan demikian, hakikat gerakan reformasi bukan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru apalagi untuk menurunkan Suharto dari kursi kepresidenan.
c.     Namun, karena pemerintahan orde baru pimpinan Suharto dipandang sudah tidak mampu mengatasi persoalan bangsa dan Negara, maka Suharto diminta untuk mengundurkan secara legawa dan ikhlas demi perbaikan kehidupan bangsa dan negara Indonesia di masa yang akan datang Gerakan reformasi merupakan sebuah perjuangan karena hasil-hasilnya tidak dapat dinikmati dalam waktu yang singkat. Hal ini dapat dimaklumi karena gerakan reformasi memiliki agenda pembaruan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, semua agenda reformasi tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dan dalam waktu yang singkat. Agar agenda reformasi dapat dilaksanakan dan berhasil dengan baik, maka diperlukan strategi yang tepat, seperti:
1.   Menetapkan prioritas, yaitu menentukan aspek mana yang harus direformasi lebih dahulu dan aspek mana yang direformasi kemudian.
2.   Melaksanakan kontrol agar pelaksanaan reformasi dapat mencapai tujuan dan sasaran secara tepat.
Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari norma-norma hukum. Dengan demikian, cita-cita reformasi yang telah banyak sekali menimbulkan korban baik jiwa maupun harta akan gagal. Untuk itu, kita sebagi pelajar Indonesia harus dan wajib menjaga kelangsungan reformasi agar berjalan sesuai dengan harapan para pahlawan reformasi yang gugur mendahuli kita.
 Tahap awal proses reformasi Indonesia telah selesai dengan selamat. Bangunan politik demokrasi negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 telah dibangun. Selanjutnya kita sedang menjalani proses konsolidasi untuk menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi agar kehidupan demokratis menjadi cara hidup dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila yang kuat, serta agar kemakmuran dan kesejahteraan yang adil sebagai sebagai perwujudan cita-cita kemerdekaan dapat dicapai.
     Proses reformasi kita berakar jauh ke dalam sejarah Indonesia merdeka. Semula ia berupa gerakan di bawah tanah dan/atau sebagai bentuk pergumulan internal kelompok. Kemudian telah berhasil muncul ke permukaan dan menjadi bagian dari proses sah dan resmi kehidupan bernegara kita.
     Dimulai pada SI-MPR 19981, proses reformasi telah menjadi bagian agenda politik bernegara. Pemilu 19992 sebagai pemilu demokratis pertama sesudah pemilu 1955 berhasil dilaksanakan dan diikuti dengan dibentuknya lembaga-lembaga negara DPR, MPR, Presiden, BPK dan MA. Selanjutnya lembaga-lembaga itu telah menyerap isu-isu dan gerakan reformasi masuk ke dalam kelembagaan negara. Tema-tema reformasi seperti tuntutan untuk membangun sistem politik 
check and balance, kebebasan pers, penghormatan terhadap HAM, supremasi hukum, dan sebagainya, menjadi agenda kerja lembaga perwakilan yang berwenang.
     Selama proses amandemen dari tahun 1999 sampai tahun 2002, isu-isu peka dan pernah tabu untuk dibicarakan, seperti isu apakah Pembukaan UUD 1945 perlu diubah, isu untuk memasukkan kembali “7 kata: 
dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti dirumuskan pada rancangan Piagam Jakarta akan dimasukkan kembali ke dalam pasal 29 UUD, isu apakah bentuk negara kesatuan akan dipertahankan atau diganti dengan bentuk negara serikat, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dibicarakan secara terus-terang dalam forum lembaga resmi dan dapat diselesaikan dengan baik. Para anggota MPR hasil pemilu 1999 membahas isu-isu peka itu secara terbuka, penuh dengan rasa persaudaraan dan saling menghargai, jauh dari niat untuk memaksakan kehendak dan kemudian berhasil bersepakat untuk tetap mempertahankan rumusan yang ada dalam UUD 1945 (asli) dengan musyawarah mufakat3.
     Proses reformasi yang sangat luas dan fundamental itu telah kita lalui dengan selamat dan aman. Negara kepulauan yang begini besar dan majemuk, 300-an suku bangsa, besar dan kecil, dengan 500-an bahasa dan dialek, yang berdiam di 17,000-an pulau, dengan sejarah panjang kerajaan-kerajaan Nusantara masing-masing, berhasil menjalaninya dengan utuh, tidak terpecah-belah, terhindar dari kekerasan dan perpecahan. Kita jauh lebih beruntung dari negara-negara seperti Uni Soviet, Yugoslavia, dan Cekoslowakia yang masing-masing terpecah-belah ke dalam banyak negara merdeka sewaktu menjalani proses reformasi diri, yang kerap disebut sebagai proses balkanisasi. 
     Selesainya perubahan-perubahan itu bermakna bahwa sistem politik berdasar disain UUD 1945 telah dikonsolidasikan untuk mampu menerima dan mengarahkan beban dinamika politik seraya terus melandasi proses demokratisasi dan reformasi berkelanjutan tanpa harus terjerumus ke dalam situasi kacau-
chaotic. 
     Sekarang kita masih terus menjalani lanjutan proses reformasi itu. Berbagai UU semakin melengkapi bangunan politik demokratis kita. Kita berkutat dengan upaya membangun supremasi hukum melalui pembenahan lembaga penegak hukum. Otonomi semakin memperoleh bentuk nyata sekaligus sedang mencari posisinya yang tepat dalam prinsip negara kesatuan. Kebebasan pers terus bergerak mencari bentuk yang pas sebagai bagian masyarakat demokratis. Banyak langkah yang telah dan sedang kita ambil untuk mengkonsolidasikan hasil reformasi dan untuk terus memberi isi kepada proses-proses demokratis yang telah kita bangun. Kita perlu bertekad untuk menjalaninya dengan arif agar terhindar dari perseteruan dan perpecahan.
     Kita beruntung karena terlepas dari bencana perpecahan dan kekacauan selama menjalankan reformasi. Bila kita merenungkan keberuntungan kita itu, nurani kita tidak akan dapat melupakan jasa dan kebesaran para pemimpin kita. Bung Karno, seorang pendiri utama negara ini, telah memberikan keteladanan. Walaupun beliau waktu itu mempunyai kekuatan pendukung yang cukup dahsyat tetapi tidak memaksakan kehendak. Beliau rela mengundurkan diri sebagai presiden sewaktu bangsa terancam perpecahan dan pertumpahan darah. Pak Harto juga memberi keteladanan yang sama. Beliau, yang masih punya kekuatan pendukung yang kokoh, juga rela mundur demi mencegah perpecahan dan pertarungan antar sesama anak bangsa. Sejarah mencatat baik Bung Karno maupun Pak Harto adalah pribadi-pribadi yang kokoh dan telah terbukti keberaniannya. Demikian pula Pak Habibie, yang bersedia menetapkan hasil pemilu 1999 walaupun sadar bahwa hasilnya adalah kekalahan bagi partai politik pendukungnya. Beliau menyadari kacau-balaunya negeri ini, bahkan bukan tidak mungkin negeri ini akan terpecah-belah, bila saja pemilu 1999 gagal! Gus Dur, pribadi yang menghayati nilai-nilai demokratis, yang menghormati aturan main demokratis. Mbak Mega, yang tegar dan mantap melanjutkan proses reformasi dan demokratisasi serta mendukung penuh penyelesaian amandemen UUD 1945 dan pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung yang pertama dengan berhasil, aman dan damai. Demikian juga SBY yang konsisten berusaha menjalankan pesan-pesan reformasi dan prinsip-prinsip demokrasi. Kepada mereka, dan juga kepada para pemimpin-pemimpin kita yang lain, termasuk para pimpinan partai politik, pimpinan ABRI-TNI/POLRI, para pemuka agama-agama dan masyarakat, dan para aktivis berbagai generasi, yang telah memberi teladan kearifan, baiklah kita memberi hormat dan penghargaan dan bertekad mewarisi kearifan itu. 
     Indonesia sekarang adalah negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kebebasan berpendapat, HAM, supremasi hukum, dan sistem politik 
check and balance, telah dimeteraikan. Tetapi kita sadar, walau prosedur berdemokrasi telah mulai lengkap, di hadapan kita terbentang tugas yang besar dan penting untuk mengkonsolidasikannya, menjadikannya demokrasi yang substansial, sebagai cara kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak sekedar demokrasi prosedural-formal. Membangun demokrasi substansial-prosedural seperti itu seyogianya senantiasa menjadi tujuan kita karena dengan itulah kesejahteraan dalam kualitasnya yang paling dalam akan dapat diwujudkan.
     Kita semua terpanggil dan bertanggung jawab untuk mewujudkannya, baik yang berada dalam infrastruktur, seperti Presiden, DPR, MK, MPR, MA, BPK, DPD dan lembaga-lembaga resmi lainnya, seperti TNI dan POLRI, maupun yang berkiprah dalam supra struktur masyarakat, seperti partai-partai politik, organisasi masyarakat, media massa, LSM, dan sebagainya. Tanggung jawab mana dilakukan baik dengan membuat dan menegakkan aturan dan keteladanan, maupun juga dalam bentuk gerakan nasional pendidikan nilai dan praktek kehidupan berdemokrasi. 

2.  LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
Desakan untuk mengubah UUD 1945 semakin menguat selama masa kemelut politik dan krisis kepercayaan yang meledak karena dipicu oleh krisis moneter tahun 1997. Luas dan dalamnya krisis yang terjadi waktu itu telah lebih menampakkan kelemahan sistemik UUD 1945 yang asli, yang telah menyebabkannya tidak mampu memberi jalan keluar mengatasi keadaan. Pada dasarnya, ketidakmampuan itu bukanlah sekedar karena kesalahan kebijakan Pemerintah dan ketidakmampuan Presiden serta pejabat pemerintahan lainnya atau karena kurangnya “semangat para penyelenggara negara” waktu itu. Pemerintahan masa itu tidak mempunyai satu faktor penting untuk dapat mengatasi keadaan, yakni tidak adanya dukungan dan kepercayaan masyarakat luas.
     Sistem MPR yang berlaku masa itu, di mana MPR adalah pelaksana tertinggi kedaulatan rakyat, pemegang kekuasaan tertinggi dan Presiden sebagai pelaksana kekuasaan tertinggi di bawah dan bertanggung jawab kepada (untergerordnet) MPR, tidak memberikan pilihan lain kepada Presiden Suharto kecuali harus melakukan rekayasa untuk menguasai MPR. Sebab, bila MPR tidak dikuasai, pemerintahan akan labil. Sistem MPR hanya akan stabil, tetapi sekaligus otoriter, hanya apabila ada satu partai politik yang menguasai MPR, seperti maksud pendirian PNI (bukan PNI 1926) sebagai Partai Pelopor, untuk menjadi satu-satunya partai di masa awal kemerdekaan4, atau bila hanya ada satu kekuatan politik dominan, seperti GOLKAR. Gagasan membentuk partai negara itu ditentang oleh Sekutu, yang baru memenangkan PD II, karena menilai bahwa gagasan itu berasal dari pemikiran facisme militer Jepang5.
 
     Sistem MPR dirancang sesuai dengan alam pikiran dari konsepsi persatuan pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara (das Ganze der politischen Einheit des Volkes), sebuah aliran pikiran nasional-sosialis, yang menurut Prof. DR. Supomo sesuai dengan masyarakat Indonesia. Beliau menamakan aliran itu paham integralistik-totaliter: Presiden adalah Bapak bangsa, pemimpin sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur (prinsip
 Fuhrung sebagai Kernbegriff–ein totaler Fuhrerstaat). Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaan telah dieksplisitasikan ke dalam pasal dan ayat, dan juga ke dalam Penjelasan UUD 1945, dengan menggunakan cara pandang (world view) yang populer pada masa menjelang PD II, yaitu paham intregralistik-totaliter.
     Presiden Suharto berhasil merekayasa sistem MPR dengan membentuk kekuatan 3-jalur, ABRI-GOLKAR-KORPRI yang menguasai MPR dan Pak Harto sendiri adalah pemimpin ke-3 jalur itu, yaitu sebagai Panglima Tertinggi ABRI, Ketua Dewan Pembina GOLKAR dan Kepala Pemerintahan. Dengan demikian, walau Presiden bertunduk dan bertanggung jawab pada MPR namun pada hakekatnya Presiden (Suharto) yang mengendalikan MPR. Dengan konstruksi demikian Pak Harto berhasil mengokohkan kekuasaannya selama lebih dari 30 tahun dan berhasil membawa banyak kemajuan dalam pembangunan. Tetapi sejalan dengan itu harga yang sudah dibayar untuk konstruksi demikian juga sangat mahal. Hilangnya kontrol dan hilangnya kebebasan, termasuk kebebasan pers, dan kenyataan bahwa kekuasaan itu tamak (power tends to corrupt), telah melahirkan banyak penyimpangan yang pada gilirannya telah menghilangkan dukungan yang ikhlas (genuine) dan kepercayaan rakyat pada kepemimpinan beliau. Dari sisi lain, Pak Harto bisa juga dianggap korban dan sekaligus penikmat sistem itu. Apabila partai banyak, apalagi bila tidak ada partai dominan, dan karenanya Presiden tidak bisa menguasai MPR, seperti yang terjadi pada era Pak Habibie dan Gus Dur, maka sistem MPR itu akan merupakan sistem parlementer yang paling buruk. Dengan mudah dan sebentar saja baik Habibibe maupun Gus Dur dapat diturunkan dari jabatannya. Kelemahan sistemik ini mengakibatkan UUD 1945 yang asli tidak memberikan pilihan dan jalan keluar yang baik untuk mengatasi keadaan.
     Dunia, terutama selama dua dekade terakhir, berubah dengan cepat. Kemajuan teknologi, khususnya IT (information and telecommunication) dan transportasi, bagaikan revolusi yang mendesakkan perubahan yang melanda seluruh dunia. Informasi dengan cepat menyebar dan dapat merasuk kemana saja. Dalam hitungan menit, modal misalnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Disukai atau tidak, perkembangan ini telah semakin memperkokoh kedudukan pasar sebagai sentral kegiatan yang memberi dorongan kuat pada kreatifitas dan inovasi. Negara-negara komunis, Cina dan Vietnam dan Laos, begitu pula negara sosialis-hijau (green socialism) seperti Lybia, atau negara non/semi demokratis lainnya, telah menerapkan politik ekonomi pasar untuk menakik kemajuan dunia guna membangun negeri dan mensejahterakan (fisik) rakyat. Paham sentralisasi untuk sebagian telah ditinggalkan. Tetapi kekuasaan politik tetap dimonopoli oleh partai tunggal/partai dominan, walau pembicaraan tentang perlunya demokrasi untuk Cina,
 but not now, telah mulai diperdengarkan oleh para pemimpinnya. Sementara kaum terdidik negeri itu juga mulai memperdengarkan pendapatnya yang sering berbeda dengan pendapat resmi negara. Mereka yang menginginkan memperoleh kesejahteraan yang tidak hanya materil-ekonomi saja semakin banyak bersuara, semakin banyak jumlahnya, dan semakin berani. Lambat atau cepat negara-negara itu akan berhadapan dengan tekanan reformasi, dengan tuntutan warganya untuk didengar, untuk turut berpartisipasi, untuk diakui hak-hak dasarnya sebagai manusia. Bila saat itu tiba, bila tekanan itu telah menggumpal makin besar dan kuat, tidak terbayangkan rumitnya tantangan yang harus diatasi. Apalagi kalau tekanan itu akhirnya meletus. Sejarah mengatakan, baik pada era perubahan monarki absolut menjadi monarki demokratis di Eropa pada abad-abad lalu, maupun perubahan di Jerman dan Jepang (melalui kekalahan dalam PD II), di Korea Selatan (era Park Chung-hee), di Taiwan, di Uni Soviet, Cekoslowakia, Yugoslavia, harga perubahan itu amat mahal, dan tidak hanya materil. Bahkan di 3 negara terakhir harga perubahan harus dibayar dengan berakhirnya eksistensi negara-negara tersebut dan terpecah-belah menjadi banyak negara baru. 
     Menghadapi perubahan tantangan yang demikian keras dan mendasar, dan agar tetap mampu melangkah maju, setiap bangsa haruslah berusaha melengkapi diri dengan sistem yang dapat membangun kepercayaan dan dukungan rakyatnya. UUD 1945 perlu diperbaiki, agar tujuan merdeka, seperti yang termaktub dalam Pembukaan, dapat diwujudkan melalui struktur dan prosedur bernegara yang lebih handal, yaitu melalui perubahan pasal dan ayatnya. Perubahan mana pada hakekatnya serupa dengan pengembangan organisasi (organizational development) biasa yang harus dilakukan manakala suatu organisasi ingin tujuannya tercapai sementara lingkungan telah berubah. Yang penting adalah kearifan untuk taat asas pada tujuan awal dalam situasi dan kondisi yang berubah. Nilai-nilai dalam Pembukaan, yang intinya adalah sila-sila Pancasila, harus diterjemahkan dan dieksplisitasikan dengan menggunakan cara pandang demokrasi berkedaulatan rakyat ke dalam struktur dan prosedur bernegara sebagaimana dirumuskan ke dalam pasal dan ayat UUD.
     Dengan demikian proses reformasi kita mempunyai tujuan untuk membangun kehidupan berdemokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila yang adil dan makmur.
 

3.   TUJUAN PERUBAHAN UUD 1945
Tujuan perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai
a.    tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional dalam pembukaan UUD 1945
b.    jaminan dan pelaksanaan kedaulatan serta memperluas partisipai rakyat sesuai perkembangan demokrasi
c.     jaminan dan perlindungan HAM sesuai perkembangan dan peradaban umat manusia
d.    penyelenggaraan Negara secara demokrasi dan modern
e.    jaminan konstitusi dan kewajiban Negara yang mewujudkan kesejahtraan social, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakan etika, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

4.   DASAR PEMIKIRAN PERUBAHAN UUD 1945
Menyadari ketidak sempurnaan hasil pekerjaan manusia, termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD, Moris salah seorang peserta dan penanda tangan naskah UUD Amerika serikat (ditetapan tahun 1787 menyatakan

nothing human can be perfect. Suarrounded by difficulties, we did the best we could ; leaving it with those who should come after us to take counsel from experience, and exercise prudently the power amandement, which we had provided….”

Pernyataan ini membuktikan adanya kehendak untuk selalu menyempurnakan UUD sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sejak itu, dalam perkembangannya, di Amerika Serikat dilakukan beberapa kali amandemen.
Menyadari UUD 1945 disusun dalam waktu yang sangat singkat. Soekarno sebagai ketua panitia perancang UUD, pada tanggal 18 agustus 1945 menyatakan “UUD yang dibuat sekarang ini, adalah UUD sementara, kalau boleh saya memakai perkataan : ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna.”

5.   LANDASAN HUKUM PERUBAHAN UUD 1945
Perubahan undang-undang dasar merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sejarah kehidupan bangsa. Perubahan undang-undang dasar akan menentukan masa depan kehidupan bangsa serta kesejahteraan bangsa tersebut. Undang-undang dasar 1945 merupakan hokum dasar yang tertulis bagi kehidupan bangsa Indonesia maka sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengingat pentingnya UUD 1945 bagi bangsa Indonesia maka perlu dipertimbangkan secara matang apabila ingin diadakan perubahan. Perubahan UUD 1945 harus bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan bangsa, sesuai dengan aspirasi rakyat serta perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Agar perubahan UUD 1945 memiliki kekuatan hukum yang sah maka perubahan UUD 1945 harus memiliki landasan / dasar hokum yang jelas.
Adapun dasar hukum perubahan UUD 1945 adalah UUD 1945 itu sendiri, yaitu pasal 37 yang berbunyi :
1.    Untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota majelis permusyawaratan rakyat harus hadir.
2.    Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir.

6.   KESEPAKATAN DASAR DALAM PERUBAHAN UUD 1945
Berdasarkan pembicaraan yang telah dilakukan, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengambil suatu kesepakatan, bahwa perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 akan berusaha :
a. Mempertahankan dan berpegang teguh kepada Pembukaan UUD 1945;
b. Mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Mempertahankan sistem pemerintahan presidensiil;
d. Memasukan norma-norma dasar yang terdapat dalam penjelasan UUD
    1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
e. Menggunakan pendekatan adendum dalam amandemen UUD 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar